Minggu, 26 Desember 2010

Jika Tuhan Maha Pintar, Ia akan mengerti....[judul asli 'Pemandangan Indah']

Muhammad, Al-Qur’an, dan Ramadhan sama sekali tidak menarik. Nama Yesus Kristus, Roh Kudus, dan Bunda Maria jelas punya eksotisme lebih besar. Begitulah keadaan jiwa saya di sekolah dasar, kira-kira 13 tahun yang lalu. Saya tak ingat persis mengapa semua itu bisa terjadi. Kalau dirunut, mungkin karena waktu itu, saya baru belajar shalat.
Islam menjelaskan bahwa maksimal pada umur 7 tahun, seorang anak harus belajar Sholat. Kalau tidak, ia boleh dipukul. Tidak ada yang memukul, karena saya mempelajarinya dengan baik. Setiap ruku, I’tidal, takbir, dengan cepat doa-doa itu terekam sempurna di benak. Satu yang tidak saya mengerti, apa makna semua ini untuk saya?
Salah satu kewajiban umat Islam adalah shalat lima waktu. Itulah jawaban buku teks pelajaran Agama Islam. Itu saja, sebuah kewajiban. Tapi alih-alih menurut, kepala saya malah protes, “Bukannya kamu sholat hanya karena bapak-ibu kamu muslim?” Dan bahkan lebih jauh lagi, “Jika kamu dilahirkan sebagai non muslim, akankah kamu memeluk Islam?”
Ego yang kelewat besar – bahkan cenderung menyesatkan kalau dipikir-pikir sekarang ini – menolak untuk hanya jadi sekedar pengikut. Dengan pragmatisnya saya membatin, “Jika Islam memang agama yang paling benar, saya akan memulainya dari belajar agama lain – yang mungkin dinilai salah.” Itulah permulaan dari helaian-helaian kertas berisi soal Agama Kristen dalam Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk anak SD yang saya isi setiap harinya.
Dan apakah saya menemukan keyakinan akan Islam dengan segera? Tidak. Sebagai anak-anak saya lebih sibuk bermain tak jongkok dan lompat karet. Faktanya, saya memulai Islam dengan jadi pengikut. Ikut-ikut shalat. Ikut-ikut pakai jilbab setiap jumat. Ikut-ikut mengaji. Tanpa pernah tahu apa korelasinya untuk saya pribadi.

Agama dan spiritualitas, selalu disebut-sebut sebagai pedoman hidup. Dan selayaknya sebuah pedoman hidup, adalah sebuah tuntutan idealisme bahwa setiap pribadi harus mengerti bagaimana posisi agama dalam diri. Termasuk detil komponen-komponen pendirinya, seperti shalat, dzikir, hijab, wudhu, dan lain sebagainya. Lagi-lagi, dengan ego yang demikian tinggi, saya menolak ikut majelis atau pengajian manapun. Selain karena tatapan aneh yang mereka alamatkan ketika mengutarakan pendapat, saya juga ingin menjaga kejernihan pemaknaan.

Inilah perjalanan awal metode keislaman saya. Dimulai dengan memaknai shalat sebagai suatu kewajiban, saya menemukan shalat sebagai ruang beristirahat. Ketika kesibukan sekolah, pelajaran, dan – kemudian – pekerjaan begitu tinggi, saya menemukan shalat sebagai tempat bersembunyi. Tidak ada yang berani mengganggu. Beranjak dari sana, seseorang pernah berkata, bahwa shalat adalah interaksi langsung kita dengan Tuhan. Maka di sholat itulah, saya menyampaikan apapun yang ingin saya sampaikan. Bahkan kadang saya bercerita banyak hal pada-Nya di akhir bacaan Al-Fatihah dan satu surat lain, di dalam sebuah rakaat, tidak menunggu sampai sehabis tahiyat akhir. Atau seringkali sehabis membaca satu surat, saya tidak langsung rukuk, melainkan tetap berdiri lama sekali. Hanya diam. Sekedar menikmati berdiri di hadapan Tuhan. Saya tidak menghafal doa-doa, saya berdoa semau saya. Jika Tuhan Maha Pintar, Ia akan mengerti.

Hal itu membawa pada pemaknaan akan Tuhan. Selama ini, Tuhan selalu dicitrakan sebagai penguasa yang Maha Agung, tempat kita menyembah, kekuasaan yang jauh lebih tinggi. Saat pertama kali mengenalnya, saya enggan memaknainya demikian. Saya ingin menganggap Tuhan sebagai sahabat. Tempat bercerita dan mengadu sebelum tidur, seseorang yang akan menerima apa adanya. Kadang saya mengajaknya bercanda. Bahkan pernah, saya marah besar karena saya pikir Ia sedang mengabulkan doa saya, ternyata tidak. Ia mentakdirkan lain. Saat itu saya murka, karena rasanya Ia menjadikan manusia boneka semata. Itu adalah sebuah love and hate relationship.

Dalam Islam, Tuhan dikonsepkan Omnipresence, ada dimana-mana. Tuhan itu dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadimu sendiri. Baru setelah bertahun-tahun menjalankan shalat, perlahan-lahan saya mulai merasa nyaman dengan keberadaan Tuhan. Tidak keberatan Ia selalu ada bersama saya. Sayangnya, itu tidak lantas membuat saya seketika jadi orang saleh. Di titik itu, saya hanya merasa nyaman, bahwa saya tidak sendirian.

Namun justru karena itu, karena Ia tidak pernah meninggalkan saya, pelan-pelan saya merasa mulai mencintai-Nya. Percaya padaNya, bahwa Ia akan ada memeluk saya, bahkan pada saat saya tidak bisa memaafkan diri sendiri. Merindukan waktu shalat, merindukan saat bertemu langsung dengan-Nya melalui cara yang Ia tentukan. Menyenangi menyebut diriNya di setiap nafas. Menghormati-Nya, mengakui keagungan-Nya dan – otomatis – mengurangi membuat lelucon tentangNya (yang dulu saya alibikan dengan, Tuhan juga senang humor, Ia tahu saya cuma bercanda)

***

Konsep Tuhan, adalah sesuatu yang amat berguna untuk kestabilan hidup manusia. Ide akan Tuhan yang tak kasat mata itu sangat menolong kekosongan dan kehausan psikologis. Itulah mengapa Cinta hanya diperuntukkan untuk Dia yang Maha Sempurna, karena hanya Dia yang bisa memenuhi semua kebutuhan dan keinginan manusia. Manusia lain, hanya ditakdirkan untuk saling menyayangi dengan ketidaksempurnaannya.

Konsep inilah, yang membuat saya bertahan dalam Islam sampai sekarang. Bahwa Islam memberi ruang yang begitu luas untuk pemaknaan, meski tidak semua bisa diinterpretasikan secara bebas. Untuk berbeda. Untuk berpikir. Untuk berijtihad. Justru Islam yang luas, membawa saya pada keinginan untuk mengenalnya lebih jauh. Membaca kitabnya. Mengenal Nabi-nabinya. Islam adalah naungan yang begitu besar, apakah mungkin Islam tidak benar? Bicara tentang mekanisme perjalanan, ini semua bukan hanya tentang akal dan logika. Menemukan makna-makna juga menggunakan anugrahNya yang satu lagi, yaitu rasa.
Sampai sekarang, saya tak sepenuhnya yakin apa saya sudah berada dalam Islam yang ‘paling benar’. Apakah pemaknaan-pemaknaan tersebut sudah berada tepat pada jalurnya. Atau, apakah metode pemaknaan yang saya gunakan itu benar. Dalam pilihan, selalu ada resiko. Tentu saja, sebagai manusia kita hanya bisa berikhtiar. Perjalanan ini belum berakhir. Bersyukurlah, jika pemandangannya indah.

Sumber: Om Google - jurnalCahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar